
Pada musim hujan, Aster berjalan menuju sawahnya setiap pagi, menggiring kerbaunya, membawa bajak di bahunya, dan mendengarkan nyanyian burung-burung murai yang berteduh diantara ranting pepohonan. Hujan memberikan semangat tersendiri untuk Aster, yang memang tidak mengenal takut akan rasa dingin saat musim hujan, ataupun rasa panas saat musim kemarau. Pada siang hari, ia duduk disamping sebuah sumur yang berada tepat di tengah ladang dekat sawahnya untuk makan siang. Saat itu langit sudah terlihat cerah, hujan sudah berangsur pulang dan meninggalkan seberkas pelangi. Setelah ia merasa mulutnya lelah untuk mengunyah, dan perutnya sudah tak mampu menampung makanan yang ia santap dengan lahap, maka ia menghentikan tepat pada suapan yang ke-13, kemudian ia letakkan sisa-sisa makananya di atas rerumputan agar burung-burung gereja bisa ikut memakannya. Lalu ia bergegas menghampiri kerbaunya, dan melanjutkan kegiatannya membajak sawah. Hingga menjelang senja, saat matahari mulai turun tahta, dan sebelum sang malam mulai berkuasa, ia pulang kembali ke rumahnya yang sederhana, yang terletak dibalik bukit bintang. Ia berbaring diatas tikar usang yang dianggap sebagai kasur mewah hotel berbintang, sembari mendengarkan alunan derik jangkrik yang saling bersahutan, hingga tak sadar bahwa matanya telah terpejam dan jiwanya telah diselimuti oleh keheningan malam.
Pada musim panas, ia akan bermain bersama kerbaunya di sungai yang berada diujung desa, membasuh penat tubuhnya, mendengarkan rintihan ranting-ranting pohon yang rapuh diterpa angin dan ditelan musim panas, merenungkan pergantian musim. Dan disela-sela dahan yang masih bertahan, ia mengintip sorot mata mentari yang tajam mengawasi setiap gerak-gerik pepohonan yang telah telanjang tanpa daun, bagai kerumunan pengemis yang terabaikan. Hingga senja kembali menyapa, ia habiskan waktu bercengkerama dengan gemercik air sungai yang tak lagi riuh seperti ketika musim hujan.
Suatu malam di musim panas, ia duduk seorang diri di atas bukit, ditemani bebatuan yang setia menatap langit, menantikan kehadiran bintang Zubeneschamali yang ramah menyapa malam, kemudian mengumpulkan ranting-ranting pohon yang tergeletak tak berdaya di tanah, karena pepohonan sudah tak sanggup lagi menjaga kesuciannya ketika terik mentari menelanjanginya di siang hari. Ia kumpulkan ranting-ranting itu, kemudian membuat perapian guna mengusir dingin malam yang menusuk. Dengan penuh kewaspadaan, ia terus-menesus mengawasi gerak-gerik awan yang berlarian kesana-kemari, karena takut sang awan akan membawa lari bintang Zubeneschamali, yang selama ini selalu ia nanti-nantikan kehadirannya.
Demikianlah, Aster menghabiskan masa mudanya diantara hamparan sawah dan sungai yang dipenuhi keindahan disiang hari, dan bercengkerama dengan bintang Zubeneschamali di atas bukit tiap kali malam menjelang. Dengan diam-diam ia merenungkan percakapan angin yang berbisik namun tak memberikan tanggapan apa-apa. Ia dijuluki sebagai pemuda gila dari utara, karena tingkah-lakunya yang selalu keluar dari kebiasaan orang pada umumnya. Disaat orang lain saling berlomba mencari mimpi yang lebih baik di tempat peraduan saat malam tiba, ia justru menghabiskan waktunya untuk menikmati pesona bintang Zubeneschamali dari atas bukit, hingga mencumbui malam dengan hasrat kerinduan.
Musim panas kali ini ia habiskan bersama Zubeneschamali, karena saat musim panas adalah waktu yang tepat untuk melihat senyum manis Zubeneschamali, tanpa takut akan mendung pekat yang selalu merampas senyum Zubeneschamali seperti saat musim hujan. Lekuk senyumnya tergambar jelas, dan pancaran cahaya dari balik kacamatanya seolah mengirimkan isyarat akan ketulusan cinta, bagai butiran embun yang selalu indah menghias dedaunan dipagi hari, bagai hembusan angin yang selalu menggetarkan dahan dan ranting pepohonan. Ia selalu setia menanti kehadiran Zubeneschamali, satu-satunya bintang terang yang akan selalu erat memeluk tubuh ringkihnya, dan yang selalu setia menjaga mimpinya.
Suatu pagi, ketika ayam berkokok malu-malu, dan sang fajar mulai menyapa langit dari ufuk timur, perlahan Aster bangkit dari tidurnya. Beberapa orang memandang angkuh ke arahnya seraya berkata, “Kau pemuda gila! Kau terlalu tergila-gila pada sosok Zubeneschamali, yang tak jelas seperti apa wujudnya. Zubeneschamali hanyalah putri khayalan dari negeri dongeng! Kau habiskan waktumu di atas bukit, hingga lupa akan tumahmu yang tak pernah kau jamah tiap malam, hanya untuk mengharapkan kehadiran Zubeneschamali yang tak pernah sekalipun kau temui!” Kemudian ia hanya membalasnya dengan senyuman, seraya berkata dalam hati, “mungkin Zubeneschamali hanyalah putri khayalan dari negeri dongeng bagi kalian, tapi bagiku, ia adalah sosok nyata yang selalu hadir disetiap mimpi indahku. Ia tak pernah sekalipun melewatkan malam bersamaku. Itulah yang membuatku merasa nyaman berada di bukit ini, menghabiskan malam-malamku bersama Zubeneschamali”. Rasa cintanya kepada Zubeneschamali mampu mengalahkan logika yang tak mampu dicerna oleh akal sehat.
Sejak saat itulah ia dikenal sebagai pemuda gila, yang selalu terobsesi oleh sosok Zubeneschamali. Terkadang ia tertawa sendiri saat langit cerah, namun tak jarang pula ia menangis saat langit tertutup awan mendung. Begitu dalamnya cinta Aster pada Zubeneschamali, hingga langit tak kuasa membujuknya untuk melupakan sosok Zubeneschamali. Ia sadar, dilangit luas sana Zubeneschamali tidak sendiri, banyak bintang-bintang terang yang merayu Zubeneschamali, atau bahkan Zubeneschamali sendiri telah memilih bintang lain sebagai sosok yang diharapkan, bukan Aster, si pemuda gila dari desa yang tak punya apa-apa. Namun apapun yang terjadi, Aster si pemuda gila akan selamanya gila karena tergila-gila oleh paras Zubeneschamali yang mampu mengubahnya menjadi pemuda paling bahagia dan dipenuhi oleh mimpi. Setidaknya, ia telah berani bermimpi, walaupun apa yang ia impikan belum tentu menjadi kenyataan. Ia berjanji pada siang dan malam, bahwa suatu saat ia akan membungkam mulut para penyair yang meragukan persatuan antara langit dan bumi.