Aku hanyalah manusia tanpa mimpi, serpihan jiwa yang terbuang. Tak ada satupun yang peduli padaku, karena memang tak berharga sama sekali, bahkan tak lebih berharga dari sampah yang berserakan. Tiap-tiap serpihan jiwaku bebas melayang, terpisah dan terombang-ambing bersama hembusan angin yang tak tentu arah. Seolah pasrah dengan keadaan, aku hanya bisa mengikuti kemana arah angin berhembus.
Sejak dulu aku memang seperti ini, takdirku yang memaksaku untuk terus menjalani hidup seperti ini, menjalani peran sebagai tokoh utama yang selalu menderita. Ya, aku tengah menikmati hidup sebagai Aster, tokoh utama yang selalu menderita dalam sebuah drama kehidupan. Mungkin aku telah dinobatkan sebagai aktor terbaik dalam menjalankan peranku, sehingga Sang Sutradara Kehidupan masih mempercayakanku untuk mengambil peran ini. Walau cerita silih berganti, tapi peranku tak tergantikan.
Suatu saat Sang Sutradara sempat mencoba memberikanku peran yang lebih baik, sesaat aku berubah peran menjadi tokoh lain yang sedikit diberi kesempatan untuk merasakan peran menyenangkan dan membahagiaka. Banyak hal yang aku rasakan dalam peran baruku itu, bahkan hal yang tidak pernah aku dapatkan dalam peran sebelumnya, saat itulah aku dapatkan. Aku diminta menggantikan tokoh utama dalam cerita itu hanya di awal cerita. Judul cerita baruku saat itu adalah manusia penuh mimpi.
Sesuai dengan judulnya, saat itu aku memang total dalam menjalankan peran sebagai sosok manusia yang penuh dengan impian. Tidak berlebihan rasanya jika melihat latar belakang dan track record sebagai pemeran yang selalu menderita, tiba-tiba diberi peran lain yang lebih baik. Bagai mendapatkan mukjizat, seketika aku berubah menjadi sosok yang paling beruntung dan paling bahagia. Seolah aku lupa pada sosok asliku yang sangat jauh berbeda dengan peran baruku. Aku lupa daratan, aku terlalu menjiwai peran baruku dan terlalu emosional. Aku lupa bahwa peranku itu hanya sementara, sampai tokoh utama hadir dan kembali mengambil perannya dariku.
Dalam cerita manusia penuh mimpi, ada satu tokoh utama wanita yang sangat istimewa, dia adalah Zubeneschamali. Untuk lebih akrab dengannya, aku biasa memanggilnya dengan sebutan Zuby. Dia sempurna bagiku, dia mampu menjalankan perannya dengan sangat baik. Bahkan saking baiknya, aku sampai tidak bisa membedakan mana yang sesungguhnya dan mana yang hanya sebatas skenario. Aku merasa sangat beruntung dan sangat nyamanan beradu peran dengannya.
Kami menjalankan cerita dengan tema cinta dan mimpi. Diceritakan bahwa aku adalah sosok Zubenelgenubi, pemuda gila yang tengah putus asa dan tak punya semangat hidup. Banyak orang yang mencoba membantuku keluar dari situasi itu, namun tak ada satupun yang berhasil mengubah hidupku, bahkan keluargaku sendiri pun sudah pasrah dengan kenyataan pahit itu.
Hingga suatu saat hadir sosok Zubeneschamali, sosok yang sangat berpengaruh besar dalam hidup Zubenelgenubi. Bahkan orang tua Zubenelgenubi mengira bahwa ia adalah Dewi Penyelamat yang memang sengaja diturunkan ke bumi oleh Tuhan sebagai jawaban dari do'a-do'a mereka. Seketika itu kehidupanku berubah total. Aku menjadi sosok periang penuh semangat dan penuh mimpi. Hari-hariku tak jauh dari mimpi yang selalu menghiasi dinding hatiku. Entah secara kebetulan atau memang direncanakan, atau hanya bagian dari skenario cerita, Tuhan berbisik di telingaku saat tengah tertidur pulas memeluk mimpi. Ia berkata "Aku akan memberikan sosok Zubeneschamali untukmu, sosok yang akan sealu menjagamu, sosok yang akan selalu menemanimu, dan sosok yang akan menjadi milikmu". Karena itulah aku nyenyak tertidur bersama mimpiku, seakan tak ingin bangun, karena takut sang fajar akan merenggut mimpi indahku itu.
Sejak saat itulah aku lebih akrab dengan sang malam. Bintangnya mampu menenangkan jiwaku, dan pesonanya mampu mengalihkan duniaku. Terlebih lagi, konon kabarnya Zubeneschamali adalah jelmaan bintang yang Tuhan kirimkan ke bumi. Maka dari itu, aku menganggap Zubeneschamali bukan sekedar sosok dalam mimpiku. Lebih dari itu, aku menganggapnya sebagai teman hidupku, separuh jiwaku, dan alasanku untuk tetap bertahan hidup. Apapun yang ia lakukan, aku sangat antusias mengamati tingkah lakunya. Apapun yang ia katakan, aku akan selalu mengikutinya. Karena dia adalah alasanku untuk tetap bertahan hidup.
Sejatinya aku telah mati dalam hidup. Namun berkat hembusan nafas Zuby, aku masih sanggup bertahan. Ia seolah menjadi nyawa keduaku. Ia hembuskan angin kedamaian, dan menyusun kembali tulang-tulang yang telah lama terkubur dalam keputus-asaan. Saat itu, aku berperan bukan sebagai aku. Banyak hal baru yang aku sendiri tidak tahu maknanya. Misteri dari cerita itu sulit ditebak arahnya. lagi-lagi aku dipaksa untuk mengikuti peran yang telah tertulis dalam skenario Sang Sutradara Kehidupan.
Saat pagi menjelang, aku harus terima kenyataan bahwa aku bukanlah pemeran utama yang sesungguhnya. Perlahan aku dihadapkan pada situasi sulit, dimana aku harus rela dikuliti oleh rasa cinta yang teramat menyiksa. tidak ada pilihan lain, selain kematian. Ada dua caraku mati dalam cerita itu. Pertama, hatiku disayat-sayat perlahan hingga terpotong-potong menjadi beberapa bagian, sampai aku mati. Dan kedua, Jantungku dihujami pisau tajam bertubi-tubi. Perbedaannya hanyalah proses dan waktu kematianku.
Kini dalam cerita tersebut, aku telah pergi. Hingga saat ini, aku masih belum tahu akhir jalan ceritanya. Yang jelas, sang pemeran utama dari cerita ini telah kembali, dan aku harus rela melepaskan peranku. Saatnya kembali berperan sebagai Aster yang malang, atau justru memaksakan diri untuk berhenti berperan, dan berdiam diri sebagai penonton hingga akhir cerita. Namun apakah aku sanggup hanya duduk sebagai penonton, dan memaksakan diri untuk ikut tersenyum bahagia menyaksikan setiap detil kisahnya? Aku pikir tak akan sanggup, berat rasanya harus menerima kenyataan pahit ini. Satu-satunya cara yang mungkin bisa kulakukan adalah berhenti mengikuti ceritanya, kemudian bangkit dari tempat tidur dan pergi sejauh mungkin ke tempat yang tak ada seorangpun yang akan menemukanku, mungkin di suatu tempat yang lebih tenang. Dmanakah tempat itu? Aku sendiri belum tahu. Yang harus kulakukan saat ini adalah bangkit dari mimpi, dan kembali menjadi Aster si pesakitan, manusia tanpa mimpi. Berjalan tertatih-tatih dengan kaki yang pincang, diatas hamparan luas keputus-asaan.
Tuhan, aku lelah...