Aku hanya ingin menyendiri, bersembunyi dibalik dinding usang rumah tua tak berpenghuni, sambil mengintip kejamnya dunia dari sela-sela dinding yang retak. Tak ada satupun yang tahu betapa menderitanya aku menahan lapar dan dahaga, dan terbelenggu oleh sepi yang kian mencengkram, kecuali sang mentari yang diam-diam mengawasiku dengan tatapan sinarnya yang terpancar dari lubang dinding. Tapi itu lebih baik, karena dunia diluar sana lebih kejam dari yang kubayangkan. Monster yang berkedok malaikat siap menerkam dan mencabik-cabik jiwa rapuhku dengan buaian janji-janji manis, merobek hatiku saat terlelap dalam peluknya, dan meninggalkanku begitu saja saat tubuhku telah menjadi puing-puing berserakan, hingga sekumpulan burung pemakan bangkai berdatangan, seolah mereka tengah berpesta ditengah musim panas yang berkepanjangan.
Hingar-bingar bisikan angin menghasutku untuk melepas belenggu ini, dan mengajakku keluar dari rumah tua yang sesungguhnya menjadi satu-satunya tempat paling aman di dunia ini. Sempat aku tergoda, dan ingin mengikuti arah langkah angin, namun aku selalu teringat janji bintang Zubeneschamali. Ia berkata:
"Janganlah kau keluar dari rumah tua ini, jangan pernah lepaskan belenggu ini sebelum aku kembali. Tunggulah saat malam tiba, saat monster-monster buas itu terlelap, maka aku akan memperlihatkan wajah asli mereka padamu, dan segera membawamu terbang ke langit bertabur bintang yang penuh dengan kejujuran. Disanalah kau akan kubuatkan istana megah untuk menemaniku. Karena kau adalah putra kegelapan, dan aku membutuhkanmu agar dapat bersinar terang".
Janji bintang adalah janji suci yang dapat dipercaya. Ia takkan berhenti bersinar sepanjang malam, dan setia menebar senyum keindahan untuk sang alam. Bahkan bulan sang anak bumi enggan kembali, karena telah merasa nyaman berada diantara bintang yang tak segan mengajaknya bersenandung alunkan do'a, yang syairnya belum pernah didengar sebelumnya saat dibumi.
Kini kucoba pejamkan mata dan masuk kedalam pusaranya, sambil mendengarkan alunan do'a yang tengah mereka senandungkan sebagai musik penenang jiwa. Perlahan suaranya kian mendekat saat senja, dan aku berharap ketika membuka mata, Zubeneschamali telah hadir dihadapanku, sambil mengulurkan tangan dan berkata:
"Ikutlah denganku, sekaranglah saatnya".
~AFQ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar