Aku mulai lelah membersihkan puing-puing reruntuhan yang hancur tersapu badai. Dinding-dinding kokoh telah rata dengan tanah, menjadi serpihan debu yang mudah terhempas angin.
Tak ada yang tersisa, selain rautan pensil yang memiliki cermin disisi atasnya. Rautan itu menjadi teman setiaku sejak aku masih kecil. Aku selalu membawanya kemanapun pergi, bersama dengan sebuah pensil dan buku kosong. Karena disetiap kejadian yang kualami, selalu kutuangkan dalam bentuk puisi, dan kugambarkan dalam bentuk lukisan.
Masa kecil adalah masa yang penuh imajinasi, dimana pikiran masih bersih dan belum terkontaminasi. Dimasa itulah dengan mudahnya aku berekspresi, tanpa takut tekanan dari berbagai sisi.
Kumainkan rautan itu sepanjang hari, dengan memantulkan sinar mentari yang terik menghujam bumi. Sesekali aku mengintip wajah kusam keturunan Adam dalam cermin, terlihat senyum yang dipaksakan dari bibir kecilnya, yang sungguh apabila sedikit saja terbuka, maka akan terdengar jerit tangis membahana.
Sudah terlalu lama aku sendiri, berbincang dengan sosok dalam cermin. Karena hanya sosok itulah yang selalu tersenyum padaku sepanjang waktu. Sayangnya, aku belum begitu mengenal sosok tersebut. Dan sialnya lagi, kami bertengkar hebat disaat terakhir bertemu. Kemana lagi aku harus mencarinya? Sedangkan setiap jengkal puing-puing telah kubongkar.
Aku harus berdamai dengannya, agar senyumnya kembali hadir dalam cermin yang selalu kugenggam saat ini. Untuk memudahkan pencarianku, maka telah kuputuskan untuk memberinya sebuah nama, Aster.
~AFQ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar