Kamis, 30 April 2015

Captain Jack - Siapa Aku (Lirik)

Terkadang ku merasa sangat tak berguna
Bila semua yang kulakukan pasti disalahkan
Terkadang ku merasa menjadi yang terbodoh
Tak mengenal apapun bahkan diriku sendiri

Semua menyebalkan...
Semua angkat bicara...
Dan merasa paling benar dalam menilaiku
Semua slalu berlomba menyalahkan diriku
Apa pernah mereka lihat diri sendiri

Ref:
Siapa a...ku?
Jawablah siapapun yang merasa mengenalku
Siapa a...ku?
Mengapa semua orang merasa paling mengenalku

Pendapat terlalu banyak masuk di kepala
Hingga 'ku kehilangan aku
Woo...
Kalian siapa?
Ini hidupku!
Berhenti menghakimiku
Berhentilah menilai

I am what I am
And I do what I do
I am what i am
Eventhought i don't know who i am
I am what I am
And I do what I do
I am what i am
Eventhought i don't know...

Ref:
Siapa a...ku?
Jawablah siapapun yang merasa mengenalku
Siapa a...ku?
Mengapa semua orang merasa paling mengenal
Siapa a...ku?
Siapa a...ku?

Captain Jack - Musuh Dalam Cermin (Lirik)


Aku hanya orang bodoh yang merasa pimtar
Pembohong yang mengaku jujur
Pengecut yang selalu sombong

Yang kufikirkan hanya diri sendiri
Tanpa peduli siapapun
Bahkan mreka yang memperhatikanku

Cermin membuatku
MUAK!!!

Apapun yang kulakukan selalu salah
Hanya gagal dan terus kalah
Kutantang diriku untuk berubah

Ref:
Aku benci diriku
Semua sifatku
Aku benci diriku
Melebihi orang lain... yang membenciku

Sosok dalam cermin,
Banggakah ketika kau berani melawan orang lain
Tapi,kau takut korbankan egomu
Menyerah pada kebusukanmu

Aku benci diriku
Kuingin muntah
Melihat diriku
Di dalam cermin yang kupecah

Aku benci diriku
Semua sifatku
Aku benci diriku
Melebihi orang lain yang
Benci diriku
Semua sifatku
Aku benci diriku
Melebihi orang lain... yang MEMBENCIKU!!!

Captain Jack - Foto Kusam (Lirik)

Foto kusam terlihat lebih indah
Di saat semua tertawa tanpa dosa

Kini setiap inci berpindah
Kehidupanku pun berubah
Didera ribuan masalah
Aku benci harus tumbuh dewasa
Dewasa…

Dulu semua selalu memeluk
Dan hangat tersenyum
Kini siapapun seperti berlomba
Menikam punggungku

Foto kusam buatku sadar
Aku tlah sangat jauh berbeda
Dari anak kecil yang ceria
Aku tumbuh menjadi seorang yang marah
Marah…

Selamat tinggal masa kecilku
Saat semua tanpa masalah
Kala semuanya terasa jauh lebih mudah

Saatnya tuk tumbuh dewasa
Dan menghadapi semua yang terjadi
Jalan di depanku kian berat
Namun harus tetap ku hadapi

Senin, 27 April 2015

RINDU MALAM KEMARIN

Aku rindu malam kemarin
Saat tawamu memecah keheningan malam
Aku rindu malam kemarin
Saat tanganmu erat mendekap kerinduan
Aku rindu malam kemarin
Saat senyummu indah menghias mimpi
Aku rindu malam kemarin, sayang...

Kenapa harus ada malam ini?
Kenapa waktu terus beralu?
Kenapa  harus ada pertanyaan "kenapa"?

Aku tak ingin malam ini
Ragaku belum cukup kuat untuk jauh darimu
Aku tak ingin malam ini
Rasaku belum cukup tangguh menghapus kerinduan
Aku tak ingin malam ini
Resahku masih bersemayam di sudut-sudut mimpi
Aku tak ingin malam ini, sayang...

Kenapa tak seperti malam kemarin?
Kenapa waktu tak dapat kembali?
Kenapa harus ada pertanyaan "kenapa"?

Hanya Tuhan yang sanggup menjawabnya

~AFQ~

Selasa, 21 April 2015

3 MALAM DALAM PENANTIAN

Hanya tinggal menunggu waktu
Tak kurang dari 72 jam saja

Ah, tak terlalu lama bagiku...

Tinggal memejamkan mata malam ini
Esok sudah rabu
dan lusa sudah berganti kamis
kemudian...

Jum'at telah menanti dengan suka-cita
Insya Allah kita akan bertemu jum'at
Dan siap melepas rindu, zubeneschamali

Ingat, KERINDUAN
yang telah lama memeluk erat tubuhku
hingga sulit untuk bernafas

Ingat, KERINDUAN
yang selalu tertawa dalam kuasa mimpi
hingga membuatku takut pada sang malam

Namun entah kenapa
Malam ini
Hingga 3 malam kedepan
Jiwaku larut dalam penantian penuh kegembiraan

~AFQ~

Selasa, 14 April 2015

KERINDUAN JIWA YANG TERLANTAR

Dibalik selimut rindu
Jiwa yang terlantar itu bersembunyi

Disitulah imajinasi liarnya mulai berkeliaran
Mencari peraduan
Menjajaki lorong-lorong sempit yang kosong untuk berbaring
Dan memejamkan mata seraya berharap menunggu pagi
Yang tak kian terang

Tak sadar seberapa jauh langkah yang telah ia tempuh
Dan seberapa luas wilayah yang telah ia lewati

Jiwa terlantar itu semakin lemah
Didekap kerinduan yang kian mendera
Terperangkap dalam ruang waktu tanpa cahaya
Dan terpasung dalam raga yang tak berdaya

Malam memang menjadi momok menakutkan
Bagi jiwa yang terlantar
Karena sunyinya menyimpan sejuta mimpi
Yang siap menyergap jiwa-jiwa tersesat

Sampai kapan kerinduan itu akan menyelimuti?

Mungkin sampai sang waktu merasa iba
Dan menyingkap tabirnya
Agar jiwa terlantar itu dapat melihat jelas
Pesona zubeneschamali yang terpancar di langit utara.

~AFQ~

Minggu, 12 April 2015

ZUBENESCHAMALI 2

Malam semakin mencekam, deras hujan yang turun kian menambah suasana seram, dan jiwa-jiwa terlantar berlarian mencari tempat perlindungan di lorong-lorong kota. Kabut pekat mengintai dari balik angkuhnya gedung-gedung tinggi yang menjulang, seolah siap menyergap jiwa yang tersesat. Di sudut kota yang terlihat remang-remang, salah satu jiwa terlantar itu meringkuk dan merintih tak kuasa menahan rasa dingin yang menusuk. Wajahnya semakin pucat, bibirnya membiru, dan sekujur tubuhnya seolah membeku. Akulah jiwa yang tersiksa itu, jiwa yang rapuh dan tak sanggup bertahan dalam segala kondisi.
Pagi tak kunjung datang, malam masih teramat panjang, dan jiwaku yang telah membeku hanya pasrah memeluk cahaya lampu kota yang redup pancarkan harapan, seraya menunggu sang fajar yang tengah dalam perjalanan membawa kehangatan dari timur. Sempat tak sadarkan diri sebelum salah satu wanita muda penghuni apartemen yang tepat berada disampingku melintasi lorong itu, kemudian dengan rasa iba memapahku yang telah terkulai lemas menuju kamarnya di lantai 13. Wanita itu bernama Zubeneschamali, sang bintang terang dari rasi bintang redup. Ia tinggal seorang diri di apartemen megah yang dilengkapi dengan berbagai kemewahan dan kenyamanan.
Setelah tiba di kamarnya, aku dibaringkan di atas ranjang lembut dengan selimut tebal membungkus tubuh ringkihku. Beberapa saat kemudian ia bawakan segelas teh hangat untuk mengusir dingin yang telah sekian lama memelukku, dan meletakkan handuk kecil basah didahiku. Aku tak dapat merasakan apapun, karena memang sudah mati rasa. Hingga akhirnya aku tertidur pulas dengan harapan esok pagi akan lebih cerah.
Akhirnya tibalah sang fajar yang dinanti membawa hangatnya sinar mentari mengunjungi kota dimana jiwa-jiwa terlantar dibiarkan bebas berkeliaran. Desing suara mesin dan bisingnya klakson dari kuda-kuda besi saling bersahutan menyambut pagi. Antrian kendaraan yang mengular di jalan-jalan protokol seakan menegaskan eksistensi dan arogansi makhluk-makhluk menyeramkan yang rakus memburu materi. Mereka bangga dengan aktivitas monoton tiap hari, meski ia harus menjelma sebagai robot yang bernyawa.
Zubeneschamali adalah salah satu dari sekian banyak robot di kota itu, tapi dia bukanlah makhluk menyeramkan seperti yang lain, ia cenderung lebih seperti sosok Fawn (peri hewan) dalam cerita Tinkerbell. Karena ia tidak menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Meski dibanjiri dengan kemewahan yang melimpah, ia tidak tenggelam dalam euforia kota yang hedonis, kesederhanaan mampu melindunginya dari bisik rayuan makhluk-makhluk kota yang menyesatkan. Hal itu yang membuatku merasa nyaman padanya, ingin selalu berada didekatnya dan berbagi keluh-kesah bersamanya setiap waktu. Selain memberikan fasilitas mewah penuh kenyamanan, Zuby juga memberikan kasih sayang tulus dalam merawat dan menjagaku selama proses pemulihan kondisiku yang sempat melemah. Ia mempersilahkanku tinggal bersamanya selama yang aku mau dan memenuhi segala kebutuhanku. Dan kini kami saling berkomitmen untuk selalu bersama dalam kondisi apapun.
Namun secara tak disadari sesungguhnya akulah makhluk paling menyeramkan di kota itu, pemilik jiwa yang tak tahu diri. Setelah sekian banyak pengorbanan dengan ketulusan hati yang Zuby berikan, aku masih menuntut lebih darinya, meminta agar ia memenuhi segala keinginanku tanpa pengecualian. Hal itu yang membuat Zuby merasa sedih dan kecewa kepadaku. Keegoisanku seakan merampas haknya sebagai jiwa yang bebas. Ia terperangkap dalam ruang gelap diantara harapan dan penyesalan, tersesat dalam bimbang tak tentu arah, dan sempat memintaku keluar dari apartemennya.
Aku kembali terlantar ditengah badai yang terbahak-bahak menertawakan jiwaku yang tercampakkan. Dengan nada menggelegar di iringi tarian hujan yang berirama, sang badai menghempasku ke sudut selokan kotor penuh lumpur dan sampah sisa-sisa keangkuhan makhluk kota. Dan lagi-lagi Zubeneschamali yang sudi membawaku kembali ke tempatnya. Namun saat ini aku dalam keadaan sadar, sehingga aku memahami betapa tulusnya ia melakukan itu padaku. Tak sanggup lagi kubendung air mataku yang mencoba menembus tatapan matanya yang berkaca-kaca.
Aku takut tiap kali malam datang, karena dipenuhi oleh misteri yang bersembunyi dibalik mimpi yang tak pasti. Aku juga takut ketika pagi menjelang, karena makhluk-makhluk misterius lebih nyata menampakkan wujudnya. Tapi aku lebih takut pada sang waktu yang menyapaku saat sendiri, karena jiwa rapuhku akan dengan mudah dirasuki makhluk-makhluk prasangka dan membuatku hilang kendali, yang kemudian akan menjauhkanku dari Zubeneschamali.
Maka mulai detik itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, akan kubalas segala kebaikan dan kasih sayangnya yang tulus dengan cara terbaikku. Kembali kurajut mimpi yang telah kubuat bersamanya, dan mencoba bersama-sama menantang angkuhnya kota dengan paduan kekuatan kasih penuh keyakinan. Ini jalanku, ini mimpiku, dan ini duniaku, maka tak akan ada yang mampu menghalangi langkahku selanjutnya.

Sabtu, 11 April 2015

KELEDAI DI PACUAN KUDA

Aku hanya seekor keledai yang berlagak bak seekor kuda pacu yang berlari mengejar waktu. Dengan mengenakan tapal kuda yang terbuat dari kayu lapuk, dan mengikatkan pelana usang dipunggungku, kemudian aku berlari melewati rintangan ditengah arena pacu. Teriakan-teriakan dari pinggir arena saling bersahutan memanggil namaku, meski sesungguhnya aku sendiri tidak punya nama yang pasti.

Sejatinya namaku adalah keledai, tapi penonton itu memanggilku dengan sebutan bodoh, tolol, idiot, gila, atau apapun sesuka hati mereka. Begitulah teriakan yang sering kudengar sepanjang laga, seolah-olah menyemangatiku dengan nama-nama istimewa yang mereka buat khusus untukku.

Dengan semangat yang tinggi mereka berdiri dan mengarahkan jari tengahnya padaku tiap kali melintas tepat dihadapan mereka. Siulan-siulan seolah menjadi musik pengiring derap lariku. Sang komentator tak ingin ketinggalan menyebut namaku melalui pengeras suara yang menggema ke seluruh penjuru. Sorot kamera pun tak luput mengamati setiap gerak-gerikku. Aku merasa menjadi bintang sore itu.

Tanpa kenal lelah, ku pacu lariku sekencang yang ku bisa. Saat melewati rintangan pertama, aku terperosok. Ketika menghadapi rintangan kedua, aku kembali terjatuh. Begitu juga seterusnya, hal yang sama terjadi berulang-ulang setiap kali aku mencoba melewatinya hingga akhir laga. Ketika aku telah menyelesaikan satu putaran dengan nafas terengah-engah, kuda pacu yang sesungguhnya telah menyelesaikan tiga putaran dengan wajah sumringah dan senyum sinis tiap kali melewatiku. Seakan mereka tak takut lagi menjadi urutan terakhir, karena sudah dipastikan akulah yang menempati posisi itu. Dan ketika hanya tinggal menyisakan satu putaran lagi, kuda-kuda pacu itu serentak berhenti sebelum garis finish sesuai dengan posisi yang mereka tempati masing-masing. Mereka menungguku, seolah mengejekku dengan sikap arogan dan gelak tawa penuh kepuasan.

Mungkin nama-nama itu memang pantas disematkan padaku, seekor keledai yang memang tak butuh arti sebuah nama. Karena bagi keledai, hal terbaik adalah ketika mampu membuat orang tertawa terhibur, dan siap menjadi bahan pelampiasan orang yang membutuhkan. Yang terpenting lagi, keledai memang harus siap menerima rasa sakit ketika selalu terjatuh di lubang yang sama, dan harus selalu tersenyum meski menahan perih.

Usahaku tidak sia-sia. Aku dianugerahi sebagai keledai terbaik sepanjang laga, karena memang cuma aku keledai yang ikut kejuaraan itu. Dengan bangganya ku angkat trofi hina itu seraya terisak haru penuh syukur. Aku harus terus belajar jika ingin menjadi seperti kuda pacu, atau setidaknya menjadi seekor keledai tangguh. Tanpa mengenal putus asa, tanpa mengenal kata malu.

Jumat, 10 April 2015

NAHKODA TERBAIK

Untuk setiap beban tanggung jawab yang kau pikul
Untuk setiap keringat yang kau kucurkan
Untuk setiap pelayaran yang kau jalani
Dan untuk setiap liku yang kau lewati
Kau lalui tanpa mengeluh

Untuk setiap perih yang kau tahan
Untuk setiap luka yang kau jaga
Untuk setiap sakit yang kau biarkan
Dan untuk setiap lelah yang kau tanggung sendiri
Kau lalui tanpa mengesah

Untuk setiap pagi yang merayu
Untuk setiap siang yang penat
Untuk setiap senja yang terkulai
Dan untuk setiap malam yang mencekam
Kau lalui tanpa mengaduh

Tepat 50 tahun yang lalu
Terlahir seorang bayi lucu calon nahkoda terbaik
Tak ada yang menduga bahwa ia akan mampu mengarungi samudra
Tak ada yang mengira bahwa ia akan menjadi pria tangguh
Tak ada yang menyangka bahwa ia akan menjelma pria luar biasa

Hari ini, tepat 50 tahun kau berlayar
Telah kau rasakan asam garam kehidupan
Dan telah kau buktikan pada dunia
Bahwa kau pantas dianugerahi sebagai nahkoda terhebat dimuka bumi

Kau tunjukkan aku cara menjadi seorang nahkoda
Kau ajarkan aku cara menantang samudra
Kau latih aku cara menaklukkan ombak dan badai yang ganas

Selamat ulang tahun, Ayah...
Tiada hal terindah selain melihatmu bahagia
Tiada hal terbaik selain melihatmu bangga

Dalam setiap sujudku
Dalam setiap bait do'aku
Namamu selalu tersemat pasti

Kini saatnya ku tunjukkan padamu
Bahwa aku bisa menjadi sepertimu kelak
Sehingga kau tak ragu
Ketika harus mengutusku menjadi nahkoda penggantimu

*Untuk Ayahku tercinta, sahabat terbaikku sepanjang masa, Imam keluarga yang luar biasa, Selamat Ulang Tahun. Semoga tetap menjadi yang terbaik, dan tercapai semua harapannya. Aamiin...

#LoveYouMyFather

~AFQ~

Rabu, 08 April 2015

SAPAAN ALAM

Alam punya caranya sendiri untuk menyapa kita
Entah dengan hujan badai yang menggelegar
Atau dengan panas terik yang membakar
Semua tercurahkan atas kasih-Nya

Hujan akan menuntun kita untuk menepi
Agar dapat singgah sejenak untuk berteduh
Terik pun akan mengajak kita untuk bernaung
Agar dapat menyeka keringat yang membasuh penat

Dibawah gubuk usang di pematang sawah ini
Kita dapat memaknai sapaan alam
Bukan dengan mengerang kesal
Tapi dengan merinaikan alunan syukur

Tunggu hingga hujan reda
Niscaya kita akan melihat pelangi
Tunggu hingga terik meredup
Niscaya kita akan melihat indahnya hamparan padi