Malam semakin
mencekam, deras hujan yang turun kian menambah suasana seram, dan jiwa-jiwa
terlantar berlarian mencari tempat perlindungan di lorong-lorong kota. Kabut
pekat mengintai dari balik angkuhnya gedung-gedung tinggi yang menjulang, seolah
siap menyergap jiwa yang tersesat. Di sudut kota yang terlihat remang-remang,
salah satu jiwa terlantar itu meringkuk dan merintih tak kuasa menahan rasa
dingin yang menusuk. Wajahnya semakin pucat, bibirnya membiru, dan sekujur
tubuhnya seolah membeku. Akulah jiwa yang tersiksa itu, jiwa yang rapuh dan tak
sanggup bertahan dalam segala kondisi.
Pagi tak
kunjung datang, malam masih teramat panjang, dan jiwaku yang telah membeku
hanya pasrah memeluk cahaya lampu kota yang redup pancarkan harapan, seraya
menunggu sang fajar yang tengah dalam perjalanan membawa kehangatan dari timur.
Sempat tak sadarkan diri sebelum salah satu wanita muda penghuni apartemen yang
tepat berada disampingku melintasi lorong itu, kemudian dengan rasa iba
memapahku yang telah terkulai lemas menuju kamarnya di lantai 13. Wanita itu
bernama Zubeneschamali, sang bintang terang dari rasi bintang redup. Ia tinggal
seorang diri di apartemen megah yang dilengkapi dengan berbagai kemewahan dan
kenyamanan.
Setelah tiba
di kamarnya, aku dibaringkan di atas ranjang lembut dengan selimut tebal
membungkus tubuh ringkihku. Beberapa saat kemudian ia bawakan segelas teh
hangat untuk mengusir dingin yang telah sekian lama memelukku, dan meletakkan
handuk kecil basah didahiku. Aku tak dapat merasakan apapun, karena memang
sudah mati rasa. Hingga akhirnya aku tertidur pulas dengan harapan esok pagi
akan lebih cerah.
Akhirnya tibalah
sang fajar yang dinanti membawa hangatnya sinar mentari mengunjungi kota dimana
jiwa-jiwa terlantar dibiarkan bebas berkeliaran. Desing suara mesin dan bisingnya
klakson dari kuda-kuda besi saling bersahutan menyambut pagi. Antrian kendaraan
yang mengular di jalan-jalan protokol seakan menegaskan eksistensi dan arogansi
makhluk-makhluk menyeramkan yang rakus memburu materi. Mereka bangga dengan
aktivitas monoton tiap hari, meski ia harus menjelma sebagai robot yang
bernyawa.
Zubeneschamali
adalah salah satu dari sekian banyak robot di kota itu, tapi dia bukanlah
makhluk menyeramkan seperti yang lain, ia cenderung lebih seperti sosok Fawn
(peri hewan) dalam cerita Tinkerbell. Karena ia tidak menilai sesuatu hanya dari
tampilan luarnya saja. Meski dibanjiri dengan kemewahan yang melimpah, ia tidak
tenggelam dalam euforia kota yang hedonis, kesederhanaan mampu melindunginya
dari bisik rayuan makhluk-makhluk kota yang menyesatkan. Hal itu yang membuatku
merasa nyaman padanya, ingin selalu berada didekatnya dan berbagi keluh-kesah
bersamanya setiap waktu. Selain memberikan fasilitas mewah penuh kenyamanan,
Zuby juga memberikan kasih sayang tulus dalam merawat dan menjagaku selama
proses pemulihan kondisiku yang sempat melemah. Ia mempersilahkanku tinggal
bersamanya selama yang aku mau dan memenuhi segala kebutuhanku. Dan kini kami
saling berkomitmen untuk selalu bersama dalam kondisi apapun.
Namun secara
tak disadari sesungguhnya akulah makhluk paling menyeramkan di kota itu,
pemilik jiwa yang tak tahu diri. Setelah sekian banyak pengorbanan dengan
ketulusan hati yang Zuby berikan, aku masih menuntut lebih darinya, meminta
agar ia memenuhi segala keinginanku tanpa pengecualian. Hal itu yang membuat
Zuby merasa sedih dan kecewa kepadaku. Keegoisanku seakan merampas haknya
sebagai jiwa yang bebas. Ia terperangkap dalam ruang gelap diantara harapan dan
penyesalan, tersesat dalam bimbang tak tentu arah, dan sempat memintaku keluar
dari apartemennya.
Aku kembali
terlantar ditengah badai yang terbahak-bahak menertawakan jiwaku yang tercampakkan.
Dengan nada menggelegar di iringi tarian hujan yang berirama, sang badai
menghempasku ke sudut selokan kotor penuh lumpur dan sampah sisa-sisa
keangkuhan makhluk kota. Dan lagi-lagi Zubeneschamali yang sudi membawaku
kembali ke tempatnya. Namun saat ini aku dalam keadaan sadar, sehingga aku
memahami betapa tulusnya ia melakukan itu padaku. Tak sanggup lagi kubendung air
mataku yang mencoba menembus tatapan matanya yang berkaca-kaca.
Aku takut
tiap kali malam datang, karena dipenuhi oleh misteri yang bersembunyi dibalik
mimpi yang tak pasti. Aku juga takut ketika pagi menjelang, karena
makhluk-makhluk misterius lebih nyata menampakkan wujudnya. Tapi aku lebih
takut pada sang waktu yang menyapaku saat sendiri, karena jiwa rapuhku akan
dengan mudah dirasuki makhluk-makhluk prasangka dan membuatku hilang kendali,
yang kemudian akan menjauhkanku dari Zubeneschamali.
Maka mulai
detik itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan
kedua ini, akan kubalas segala kebaikan dan kasih sayangnya yang tulus dengan
cara terbaikku. Kembali kurajut mimpi yang telah kubuat bersamanya, dan mencoba
bersama-sama menantang angkuhnya kota dengan paduan kekuatan kasih penuh
keyakinan. Ini jalanku, ini mimpiku, dan ini duniaku, maka tak akan ada yang
mampu menghalangi langkahku selanjutnya.