Minggu, 12 April 2015

ZUBENESCHAMALI 2

Malam semakin mencekam, deras hujan yang turun kian menambah suasana seram, dan jiwa-jiwa terlantar berlarian mencari tempat perlindungan di lorong-lorong kota. Kabut pekat mengintai dari balik angkuhnya gedung-gedung tinggi yang menjulang, seolah siap menyergap jiwa yang tersesat. Di sudut kota yang terlihat remang-remang, salah satu jiwa terlantar itu meringkuk dan merintih tak kuasa menahan rasa dingin yang menusuk. Wajahnya semakin pucat, bibirnya membiru, dan sekujur tubuhnya seolah membeku. Akulah jiwa yang tersiksa itu, jiwa yang rapuh dan tak sanggup bertahan dalam segala kondisi.
Pagi tak kunjung datang, malam masih teramat panjang, dan jiwaku yang telah membeku hanya pasrah memeluk cahaya lampu kota yang redup pancarkan harapan, seraya menunggu sang fajar yang tengah dalam perjalanan membawa kehangatan dari timur. Sempat tak sadarkan diri sebelum salah satu wanita muda penghuni apartemen yang tepat berada disampingku melintasi lorong itu, kemudian dengan rasa iba memapahku yang telah terkulai lemas menuju kamarnya di lantai 13. Wanita itu bernama Zubeneschamali, sang bintang terang dari rasi bintang redup. Ia tinggal seorang diri di apartemen megah yang dilengkapi dengan berbagai kemewahan dan kenyamanan.
Setelah tiba di kamarnya, aku dibaringkan di atas ranjang lembut dengan selimut tebal membungkus tubuh ringkihku. Beberapa saat kemudian ia bawakan segelas teh hangat untuk mengusir dingin yang telah sekian lama memelukku, dan meletakkan handuk kecil basah didahiku. Aku tak dapat merasakan apapun, karena memang sudah mati rasa. Hingga akhirnya aku tertidur pulas dengan harapan esok pagi akan lebih cerah.
Akhirnya tibalah sang fajar yang dinanti membawa hangatnya sinar mentari mengunjungi kota dimana jiwa-jiwa terlantar dibiarkan bebas berkeliaran. Desing suara mesin dan bisingnya klakson dari kuda-kuda besi saling bersahutan menyambut pagi. Antrian kendaraan yang mengular di jalan-jalan protokol seakan menegaskan eksistensi dan arogansi makhluk-makhluk menyeramkan yang rakus memburu materi. Mereka bangga dengan aktivitas monoton tiap hari, meski ia harus menjelma sebagai robot yang bernyawa.
Zubeneschamali adalah salah satu dari sekian banyak robot di kota itu, tapi dia bukanlah makhluk menyeramkan seperti yang lain, ia cenderung lebih seperti sosok Fawn (peri hewan) dalam cerita Tinkerbell. Karena ia tidak menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Meski dibanjiri dengan kemewahan yang melimpah, ia tidak tenggelam dalam euforia kota yang hedonis, kesederhanaan mampu melindunginya dari bisik rayuan makhluk-makhluk kota yang menyesatkan. Hal itu yang membuatku merasa nyaman padanya, ingin selalu berada didekatnya dan berbagi keluh-kesah bersamanya setiap waktu. Selain memberikan fasilitas mewah penuh kenyamanan, Zuby juga memberikan kasih sayang tulus dalam merawat dan menjagaku selama proses pemulihan kondisiku yang sempat melemah. Ia mempersilahkanku tinggal bersamanya selama yang aku mau dan memenuhi segala kebutuhanku. Dan kini kami saling berkomitmen untuk selalu bersama dalam kondisi apapun.
Namun secara tak disadari sesungguhnya akulah makhluk paling menyeramkan di kota itu, pemilik jiwa yang tak tahu diri. Setelah sekian banyak pengorbanan dengan ketulusan hati yang Zuby berikan, aku masih menuntut lebih darinya, meminta agar ia memenuhi segala keinginanku tanpa pengecualian. Hal itu yang membuat Zuby merasa sedih dan kecewa kepadaku. Keegoisanku seakan merampas haknya sebagai jiwa yang bebas. Ia terperangkap dalam ruang gelap diantara harapan dan penyesalan, tersesat dalam bimbang tak tentu arah, dan sempat memintaku keluar dari apartemennya.
Aku kembali terlantar ditengah badai yang terbahak-bahak menertawakan jiwaku yang tercampakkan. Dengan nada menggelegar di iringi tarian hujan yang berirama, sang badai menghempasku ke sudut selokan kotor penuh lumpur dan sampah sisa-sisa keangkuhan makhluk kota. Dan lagi-lagi Zubeneschamali yang sudi membawaku kembali ke tempatnya. Namun saat ini aku dalam keadaan sadar, sehingga aku memahami betapa tulusnya ia melakukan itu padaku. Tak sanggup lagi kubendung air mataku yang mencoba menembus tatapan matanya yang berkaca-kaca.
Aku takut tiap kali malam datang, karena dipenuhi oleh misteri yang bersembunyi dibalik mimpi yang tak pasti. Aku juga takut ketika pagi menjelang, karena makhluk-makhluk misterius lebih nyata menampakkan wujudnya. Tapi aku lebih takut pada sang waktu yang menyapaku saat sendiri, karena jiwa rapuhku akan dengan mudah dirasuki makhluk-makhluk prasangka dan membuatku hilang kendali, yang kemudian akan menjauhkanku dari Zubeneschamali.
Maka mulai detik itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, akan kubalas segala kebaikan dan kasih sayangnya yang tulus dengan cara terbaikku. Kembali kurajut mimpi yang telah kubuat bersamanya, dan mencoba bersama-sama menantang angkuhnya kota dengan paduan kekuatan kasih penuh keyakinan. Ini jalanku, ini mimpiku, dan ini duniaku, maka tak akan ada yang mampu menghalangi langkahku selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar