Sabtu, 11 April 2015

KELEDAI DI PACUAN KUDA

Aku hanya seekor keledai yang berlagak bak seekor kuda pacu yang berlari mengejar waktu. Dengan mengenakan tapal kuda yang terbuat dari kayu lapuk, dan mengikatkan pelana usang dipunggungku, kemudian aku berlari melewati rintangan ditengah arena pacu. Teriakan-teriakan dari pinggir arena saling bersahutan memanggil namaku, meski sesungguhnya aku sendiri tidak punya nama yang pasti.

Sejatinya namaku adalah keledai, tapi penonton itu memanggilku dengan sebutan bodoh, tolol, idiot, gila, atau apapun sesuka hati mereka. Begitulah teriakan yang sering kudengar sepanjang laga, seolah-olah menyemangatiku dengan nama-nama istimewa yang mereka buat khusus untukku.

Dengan semangat yang tinggi mereka berdiri dan mengarahkan jari tengahnya padaku tiap kali melintas tepat dihadapan mereka. Siulan-siulan seolah menjadi musik pengiring derap lariku. Sang komentator tak ingin ketinggalan menyebut namaku melalui pengeras suara yang menggema ke seluruh penjuru. Sorot kamera pun tak luput mengamati setiap gerak-gerikku. Aku merasa menjadi bintang sore itu.

Tanpa kenal lelah, ku pacu lariku sekencang yang ku bisa. Saat melewati rintangan pertama, aku terperosok. Ketika menghadapi rintangan kedua, aku kembali terjatuh. Begitu juga seterusnya, hal yang sama terjadi berulang-ulang setiap kali aku mencoba melewatinya hingga akhir laga. Ketika aku telah menyelesaikan satu putaran dengan nafas terengah-engah, kuda pacu yang sesungguhnya telah menyelesaikan tiga putaran dengan wajah sumringah dan senyum sinis tiap kali melewatiku. Seakan mereka tak takut lagi menjadi urutan terakhir, karena sudah dipastikan akulah yang menempati posisi itu. Dan ketika hanya tinggal menyisakan satu putaran lagi, kuda-kuda pacu itu serentak berhenti sebelum garis finish sesuai dengan posisi yang mereka tempati masing-masing. Mereka menungguku, seolah mengejekku dengan sikap arogan dan gelak tawa penuh kepuasan.

Mungkin nama-nama itu memang pantas disematkan padaku, seekor keledai yang memang tak butuh arti sebuah nama. Karena bagi keledai, hal terbaik adalah ketika mampu membuat orang tertawa terhibur, dan siap menjadi bahan pelampiasan orang yang membutuhkan. Yang terpenting lagi, keledai memang harus siap menerima rasa sakit ketika selalu terjatuh di lubang yang sama, dan harus selalu tersenyum meski menahan perih.

Usahaku tidak sia-sia. Aku dianugerahi sebagai keledai terbaik sepanjang laga, karena memang cuma aku keledai yang ikut kejuaraan itu. Dengan bangganya ku angkat trofi hina itu seraya terisak haru penuh syukur. Aku harus terus belajar jika ingin menjadi seperti kuda pacu, atau setidaknya menjadi seekor keledai tangguh. Tanpa mengenal putus asa, tanpa mengenal kata malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar