Senin, 31 Agustus 2015

Do'a untuk orang-orang yang telah menyayangiku...

Mah, Pak, aa mohon ampun yg sebesar-besarnya sama kalian. Mungkin aa pantes disebut anak durhaka, dan aa sadar akan hal itu. Aa gak tau lagi harus gimana, karna ini mungkin udah takdir aa. Aa pengen berontak, pengen ngelawan situasi ini, tapi semua yang aa lakuin sia-sia. Semakin aa lawan, justru semakin besar tekanan yang aa rasain.

Ikhlasin aa ya Mah, Pak. Ikhlasin sikap anak kaian yang gak berguna ini. Aa akan tangungjawab dengan apa yang udah aa lakuin. Ini jalan hidup yang aa pilih. Mungkin bukan yang terbaik menurut kalian, tapi semoga ini yang terbaik buat aa.

Ini teguran dari Allah, sekaligus peringatan atas semua dosa-dosa aa. Mamah gak perlu bilang "dosa apa mamah, sampe-sampe aa tega hukum Mamah dengan cara ini". Sungguh Mah, Pak, ini semua bukan dosa Mamah dan Bapak. Aa berani sumpah Demi Allah, aa nggak pernah sekalipun coba untuk hukum Mamah dan Bapak dengan cara ini, karna aa sendiri juga gak tau apa yang aa rasain. Aa selalu berharap yang terbaik untuk kalian. 

Aa selalu inget perlakuan mamah untuk aa, dari dulu sampe sekarang gak pernah berubah, selalu perlakuin aa kayak anak kecil yang harus dijaga, yang harus diawasi, dan harus dikhawatirin setiap saat. Mamah gak pernah bisa liat aa sedikitpun sakit, mamah selalu khawatir terlalu berlebihan. Itu yang bikin aa makin gak sanggup liat mamah terus-terusan sakit karena aa.

Bapak juga akhir-akhir ini ikut berubah, dari bapak yang keliatan cuek, tanpa ngerasa apa-apa, bahkan seolah-olah keliatan tegar, tapi gara-gara aa, bapak jadi tunjukin sikap yang jauh beda dari bapak yang aa kenal. Pertama kalinya aa liat air mata bapak jatuh karna aa. Makhluk macam apa aa ini Mah, Pak?

Sikap aa memang aneh, gak pernah terbuka sama siapapun, gak pernah ngerasa puas dengan kebahagiaan yang udah sepenuhnya kalian curahin untuk aa. Seolah-olah aa gak pernah dapetin apapun dari siapapun.

Aa memang sempet ngerasa bahagia, saat ada seseorang yang mungkin tanpa disadari udah bikin hidup aa lebih baik, lebih bahagia, tapi itu sifatnya cuma sementara. Karna dia sekarang udah gak peduli dengan aa, karna dia sendiri udah gak tahan sama sikap aa yang terlalu egois dan kekanak-kanakan. Aa ikhlas Mah, Pak. Aa ikhlas dengan apa yg aa terima.

Semoga aa gak salah langkah, dan semoga apa yang udah aa pilih gak jadi beban kalian lagi. Aa kasian sama adek yang udah abis-abisan bantu aa, kasian sama orang lain yang udah capek-capek kasih semangat, tapi kesalahan ada pada diri aa sendiri. Aa cuma jadi aib keluarga, aa cuma bikin susah banyak orang.

Jadi lebih baik aa pergi dari kalian semua, biar hidup kalian lebih tenang. Semoga Allah kasih aa jalan, dan kasih aa kesempatan dengan garis takdirNya yang lebih baik, biar bisa bahagiain kalian semua yang udah tulus sayang sama aa. Kalo masih ada kesempatan itu, aa janji bakal jadi "orang" yang bisa jadi kebanggaan. Tapi kalo udah gak ada kesempatan, paling nggak aa gak akan bebani hidup kalian lagi.

Selalu do'ain yang terbaik buat aa ya Mah, Pak. Percaya sama tahdir Allah, karna Allah udah rencanain yang terbaik untuk kita semua. Aa sayang Mamah, Bapak, Adek, dan seseorang yang udah pernah bikin aa bahagia. Aa sayang kalian semua, gak akan sedikitpun perasaan ini berkurang, bahkan hilang. Aa bakal bawa perasaan ini, cuma untuk 4 nama yang selalu aa sebut dalam do'a, itu kalian. Sampai aa mati, 4 nama ini yang akan selalu aa bawa :')

Senin, 24 Agustus 2015

Persembunyian Terakhirku

Tak ku tunjukkan rasa sakitku pada siapapun lagi
Tak ku ceritakan keluhku pada siapapun lagi
Biar takdir yang kan menghapus jejakku
Biar waktu yang kan mengubur bangkaiku

Aku tak peduli
Walau angin kan menyebarkan bau busukku
Aku tak peduli
Walau orang-orang mencaciku
Aku akan tetap diam
Hingga semua bungkam

Jiwaku meronta
Namun mulutku tak sanggup lagi berbicara
Egoku melawan
Namun sudah terlanjur terabaikan

kini saatnya aku pergi
Dan berlari tanpa kaki
Mencari tempat bersembunyi
Bersama jiwa-jiwa yang telah mati


~AFQ~

Minggu, 23 Agustus 2015

Persembunyian

Aku malu padanya...
Aku malu pada kalian...
Bahkan, aku malu pada diriku sendiri...

Aku makhluk menjijikan yang terasingkan
Ditinggalkan oleh impianku,
dan dicampakkan oleh bayanganku sendiri...

Tak ada lagi tempat untuk bersembunyi, selain bersembunyi
disisi-Mu...

Jemput aku, Kekasihku
Izinkan aku berada ditempat-Mu
Engkaulah Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Engkaulah yang paling mengerti segala inginku
Hanya Engkau yang paham tentang isi hatiku
Karena Kekasih Sejati tak akan pergi meninggalkan yang terkasih...

Aku sudah tak sanggup berdiri diatas kaki sendiri
Dan aku tak sanggup tinggal dirumah sendiri
Aku ingin bersembunyi dirumah-Mu
Rumah abadi, tempat beristirahat yang paling nyaman
yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan
Tempat terbaik yang akan menghapus segala penat dan lelahku...

Jumat, 14 Agustus 2015

Bertahan...

Aku diibaratkan sebagai pemilik bangunan tua yang lapuk, yang tak punya apa-apa, bahkan uang sepeserpun untuk merawatnya. Butuh penanganan khusus agar bangunan tersebut tetap terjaga dan tak mudah ambrol setiap sisi dindingnya.

Sakit hati itu bagaikan menancapkan puluhan paku di dinding lapuk tersebut. Meskipun paku-pakunya dapat dicabut, pasti akan meninggalkan bekas lubang. Butuh semen dan cat untuk benar-benar menghilangkan bekasnya.

Aku tak punya keahlian apapun selain mengandalkan belas kasihan. Hanya dengan sedikit mengemis, aku akan mampu membeli salah satu dari kedua barang itu. 

Saat aku mampu menutup lubang itu dengan semen, namun pasti akan tetap terlihat belangnya. Begitupun jika ditutup hanya dengan mengecat kembali, juga akan tetap terlihat bolongnya.

Haruskah aku selalu mengemis untuk menjaga bangunan tuaku? Kumohon, jagalah bangunan tuaku, itu adalah hatiku. Karena hanya itulah satu-satunya tempat perlindunganku, agar aku tetap bertahan hidup. 


~AFQ~

Senin, 10 Agustus 2015

Pedati Tua

Apa kabar pedati tua?
Jalanmu lambat sekali ternyata!
Sudah senjapun kau belum sampai di batas desa.

Lihatlah disekitarmu..
Semakin banyak kereta kencana berpacu
yang semula berada jauh dibelakangmu
kini berbalik jauh meninggalkanmu.

Bahkan sebagian dari mereka
ada yang telah sampai di kota.

Ingatlah, pedati tua..
Perjalanan ke kota masih sangatlah jauh.
berapa banyak lagi waktu yang kau butuh
untuk dapat segera tiba di kota?

Jika kau terus mengeluh
mungkin kau akan semakin rapuh
dan perlahan kian runtuh.

Saat itu pula, kota impian
hanyalah sebuah angan
yang terukir diantara puing-puing kerangka usang
yang lapuk dimakan zaman.

Kini hari sudah malam
Beristirahatlah sejenak di tepi jalan
Sambil meregangkan roda ringkihmu yang tak sanggup
lagi menahan berat beban
harapan para petani dan peternak di desa
yang mereka titipkan.

Susun kembali harapan itu
agar tak terjatuh satu-persatu.

Jangan takut akan gelap yang merasuk
Jangan takut akan dingin yang menusuk,
Karena janji mentari
akan segera menghangatkanmu esok pagi.

Lanjutkanlah perjalananmu esok pagi
walau jari-jari rodamu telah membengkok
walau jalanmu telah melenggok.

Teruslah melaju diatas jalan berlumpur dan berbatu
jangan takut dan jangan malu
karena kotormu saat ini
akan dipandang sebagai usaha keras pejuang sejati.


~AFQ~

Selasa, 04 Agustus 2015

Zubeneschamali 6: Cerita Tentang Seuntai Benang dan Secarik kain putih

Kemarin, aku mencoba merajut mimpi dalam gelap malam dengan seuntai benang kusut yang coba ku urai kembali. Butuh waktu cukup lama untuk mengurainya, hingga tak sadar waktu telah menunjukkan larut malam. Rasa kantuk dan lelah perlahan hadir merayuku, mencumbuku dengan gairah mimpi yang tertumpah-ruah pada secarik kain putih. Namun aku coba bertahan, karena memang itulah tujuanku. Semakin lelah aku merasa, justru semakin liar mimpiku meraba. Mataku perlahan terpejam, namun jiwaku tetap terjaga. Jemari kecilku terus bermain diatas untaian benang, hingga sedikit demi sedikit mulai terurai seiring dengan uraian air mata yang jatuh dipipiku.

Wahai angin malam, kenapa aku menangis? Bukannya aku tengah merajut mimpi indah? Apa karena aku terlalu lelah? Atau karena malammu tak merestui?

Ah, baiklah… Aku akan melanjutkannya esok pagi. Mungkin mentari yang bijak dapat merestui niatku. Lalu kuletakkan seuntai benang dan secarik kain putihku diatas meja, dan menghangatkannya dengan temaram lampu tidur. Sementara aku merebahkan diri diatas busa persegi. Kini kucoba beristirahat dalam dekapanmu, wahai angin malam. Karena hadirmu tidak membawa dingin, dan desirmu tidak membawa bising. Aku terlelap dalam tidurku, hingga esok pagi menyapaku.

Ketika pagi mulai menyapa dengan canda tawa dawn chorus, musisi alam yang melegenda, seketika itu aku bangkit dari peraduan. Ku tegakkan tubuh ringkihku dihadapan jendela kaca yang berselimut embun, kemudian kuhusap embun-embun nakal yang tersenyum manja. Lalu kuarahkan pandanganku pada satu titik, dimana sang murai tengah khidmat mendendangkan syair alam. Seketika itu pula jiwaku tenang, seolah terbang bersama sang maestro dawn chorus itu diantara dedaunan dan ranting pohon yang juga telah berselimut embun pagi.

Saat aku tengah menikmati indahnya alunan lagu cinta yang dibawakan sang murai, tidak berapa lama aku dikejutkan dengan suara bising dari sebuah benda yang berada diatas meja, yang membuat jiwaku kembali terpasung dalam raga. Ah, sial! Benda itu adalah jam weker yang berbunyi tepat pukul 7 pagi.

Astaga… Aku lupa satu hal, aku memang sengaja memasang alarm tepat pukul 7 pagi ini agar dapat kembali melanjutkan tujuanku untuk merajut mimpi. Sebetulnya mimpiku sederhana, namun mengurai benang kusutlah yang membuat segalanya menjadi sedikit lebih rumit dan memakan waktu yang lama. Maka aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin, agar tujuanku dapat tercapai sesuai keinginan.

Tak perlu menunggu lama, segera kuraih benang dan kain putih itu, kemudian kubawa keluar rumah. Aku duduk bersandar dibawah pohon beringin yang tumbuh tepat di halaman depan kamarku, kemudian melanjutkan kembali langkahku dalam mengurai benang kusut yang akan kurajut menjadi sebuah mimpi. Perlahan namun pasti, benang yang kusut tersebut sudah benar-benar terurai, dan aku menemukan alasanku menangis semalam. Ternyata ada sebuah jarum yang terselip diantara gumpalan benang, yang kemudian melukai jari manisku hingga aku menangis.

Tapi justru itu menjadi hikmah bagiku, karena aku tidak perlu mencari jarum untuk merajut. Rasa sakit yang kudapatkan justru dapat melancarkan niatku. Kini langkah awal yang kulakukan adalah memasukkan ujung benang kedalam lubang jarum, kemudian memainkan jemari kecilku merajut mimpi dibawah terik mentari.

Saat senja mulai tiba, aku telah menyelesaikan rajutanku. Ah, lega rasanya. Akhirnya mimpiku telah terajut. Saatnya menikmati hasilnya bersama dengan seiring bergulirnya senja. Dan saat malam tiba, aku dapat memeluk mimpiku kembali. Mimpiku adalah sebuah nama yang selalu Tuhan bisikkan padaku, saat Tuhan meniupkan ruh suci kedalam ragaku. Mimpiku adalah sebuah garis takdir yang senantiasa mengiringi langkah hidupku. Mimpiku adalah Zubeneschamali, dan aku telah merajutnya diatas kain putih dengan seuntai benang kusut yang sengaja Tuhan berikan padaku, bersama dengan jarum yang melukai jari manisku malam kemarin.

Terimakasih Tuhan, Kau telah memberikan luka pada jari manisku. Semoga dibalik luka itu, kelak aku dapat melingkarkan sebuah benda simbol pencapaian mimpi dan ikatan suci, yang juga akan melingkar di jari manis Zubeneschamali. Aamiin…



~AFQ~

Minggu, 02 Agustus 2015

Pohon Impian di Tepi Jurang

Katamu, kita bertiga sama-sama berada di tepi jurang yang sangat dalam. Satu sama lain saling menjaga, dan sama-sama berjuang untuk terbebas dari bibir jurang yang siap menelan kita dalam kehancuran. Kita bergantung pada takdir, yang mungkin akan membawa kita pada kebahagiaan, atau bahkan kesengsaraan.

Dalam urutan takdir ini, dia berada di posisi paling atas, kau berada dibawahnya, dan aku berada dibawahmu. Awalnya, dia terjatuh lebih dulu, namun tangan kirinya masih bisa menggapai sebatang pohon yang tepat tumbuh dibibir jurang. Saat kau hendak menolongnya, justru kau ikut terpeleset ketika tangan kanannya dapat kau raih. Saat itu pula kalian berdua sama-sama bergantung dan saling menguatkan.

Kemudian aku hadir diantara kalian dan mencoba untuk menyelamatkan, saat aku tahu kau sudah tak sanggup lagi bertahan. Yang terlebih dulu aku coba selamatkan adalah kau, karena kau berada dibawahnya, dan bebanmu lebih ringan. Saat kau ulurkan tangan kirimu ke atas, dengan sigap kugapai tanganmu dengan tangan kananku. sekuat tenaga kucoba menarikmu, namun aku mendengar bisikan yang membuat konsentrasiku hilang, hingga membuatku terkejut dan akhirnya ikut terpeleset.

Kini kita saling menggenggam, dan berusaha saling menolong. Namun, aku orang yang lemah dan mudah panik. Beda dengan dia yang selalu tenang walau bebannya lebih berat dari kita. aku tak sadarkan diri, aku hilang kendali, dan aku membuat posisi kalian semakin sulit. Akulah yang akan membuat salah satu diantara kita akan terjatuh, atau bahkan kita bertiga sama-sama terjatuh. Maka harus ada langkah pasti yang harus kita lakukan. Ada beberapa pilihan untuk keluar dari situasi sulit ini.

Pertama, aku melepaskan genggamanku dari tanganmu, dan mencoba pasrah saat tahu aku akan terjatuh ke dasar jurang hingga tubuhku hancur berkeping-keping. Namun masih ada harapan bagi kalian untuk naik dan terbebas dari ancaman kehancuran. Kalian masih bisa menikmati masa-masa indah dan pengalaman yang tak terlupakan, yang kelak dapat menjadi cerita pengantar tidur bagi anak cucu kalian tentang arti perjuangan.

Kedua, kau yang melepaskan genggamanmu dari tangannya, kemudian kita berdua sama-sama terjatuh ke dasar jurang yang dalam, dan sama-sama hancur. Kita bisa terus bersanding hingga ajal menjemput, dan membiarkannya hidup dengan kehidupan barunya.

Ketiga, dia yang melepaskan pegangannya dari sebatang pohon yang sementara ini menyelamatkan kita dari kemungkinan terburuk, dan membiarkan kita bertiga sama-sama terjatuh dalam jurang kehancuran, hingga akhirnya kita semua mati membusuk karena ego kita yang tak terkendali.

Apapun pilihannya, yang pasti aku akat tetap terjatuh dan mati. Tinggal bagaimana kalian menyikapinya, dan memilihkan cara terbaik bagiku dalam menghadapi kematian. Paling tidak, kita sama-sama telah mengukir kisah takdir yang tak terlupakan. Pohon itulah yang menjadi saksi, dan akan menuliskannya pada setiap akar, batang, ranting dan lembaran daunnya. Kisah itu akan abadi, hingga pohon itu tumbang dan melenyapkan kisah kita. Ingatlah, kita akan sama-sama memberi nama bagi pohon itu, dan pohon itu adalah pohon impian.